APS

Tentang ACA dan APS


Lagi browsing2, nemu postingan ini.

Waspadai Bila Terjadi Keguguran Berulang
05 Januari 2005 13:32:09

Dunia kedokteran Indonesia dalam 2 tahun terakhir dikejutkan oleh makin meningkatnya kasus keguguran (abortus) berulang yang tidak disebabkan oleh virus TORCH (toksoplasma, rubella/ campak Jerman, sitomegalovirus dan herpes) –seperti yang banyak terjadi selama ini.

Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) bahkan mencatat ada sekitar 169 kasus semacam itu selama Agustus 2000-Juni 2001. Lalu hal apa yang menyebabkan perempuan Indonesia makin banyak yang mengalami keguguran berulang?

Kalangan kedokteran menduga ada suatu sindrom penyakit yang mulai menyerang Indonesia yang disebut Anti Phospolipid Syndrome (APS) — antibodi abnormal yang menimbulkan pembekuan darah — sehingga menyebabkan tidak saja keguguran berulang, tetapi juga kemandulan, keracunan kehamilan, jantung, stroke, ginjal, hati hingga buta dan tuli mendadak. 

Prof Karmel L Tambunan Sp PD, KHOM, Subbag Hematologi Onkologi Medik Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM dalam percakapan dengan wartawan di sela-sela simposium ilmiah tentang APS, di Jakarta, baru-baru ini menjelaskan, APS sebenarnya bukan penyakit baru. Namun, karena kasus tersebut meningkat dalam 2 tahun terakhir ini, sehingga menimbulkan kekhawatiran di dalam masyarakat.

“Kasus APS sebenarnya sudah ada sejak dulu, tetapi daya tarik kasus itu baru dilirik para ilmuan dunia pada awal tahun 80-an. Di Indonesia, kasus APS baru mulai diteliti pada tahun 1997, seiring dengan peningkatan kasus APS di tanah air,” ujarnya.

Itulah salah satu alasan, yang disebutkan Prof Karmel mendorong organisasi profesi seperti Perhimpunan Trombosis-Hemostatis Indonesia perlu melakukan simposium terkait dengan APS. Karena pada dasarnya APS sudah ada obatnya, dan harganya cukup murah Rp 300 per tablet. “Dengan sosialisasi penyakit ini di kalangan dokter, diharapkan dokter dapat segera mengambil tindakan yang tepat bila mendapati gejala-gejala yang mengarah pada APS,” ucap Prof Karmel yang pada kesempatan itu didampingi rekan sejawat dr Nanang Sukmana Sp PD.

Prof Karmel menegaskan, APS bukanlah penyakit menular tetapi bisa merupakan penyakit keturunan karena berhubungan dengan genetika langsung dari penderita. Seorang penderita APS tidak akan merasakan gejala khusus, karena gejala yang ditunjukkan oleh APS adalah gejala umum. Gejala awal yang biasa dialami oleh penderita APS seperti kesemutan, pegal-pegal termasuk di daerah tengkuk, sakit kepala/migrai dan vertigo.

“Itulah sebabnya jangan pernah meremehkan sakit kepala, dengan hanya mengkonsumsi obat-obat warung untuk sakit kepala. Karena kemungkinan orang tersebut bisa terkena APS,” katanya.

Prof Karmel berpendapat, jumlah kasus APS di Indonesia mencapai 400 kasus lebih, diantaranya kasus kebutaan, tuli mendadak. Sedangkan kasus kehamilan mencapai 209 kasus pada Juni 2001. “Dan jumlah itu diperkirakan akan terus bertambah besar jumlahnya, bila kita tidak melakukan sosialisasi kasus dan penanganannya di kalangan dokter,” ujarnya.

Bagaimana terjadinya APS?

Prof Karmel menjelaskan, normalnya dalam tubuh manusia terdapat antibodi yang berguna karena mereka dapat membasmi zat asing yang masuk ke dalam tubuh seperti virus atau bakteri. Tetapi kadangkala antibodi itu menjadi sangat merugikan bagi pemilik tubuhnya karena antibodi itu tidak saja menyerang bakteri atau protein asing tetapi juga menyerang diri sendiri.

“Pada APS, kondisi itu menyebabkan trombosis atau pembekuan darah. Sehingga menimbulkan sumbatan di pembuluh darah. Karena itu jangan kaget kalau tiba-tiba terserang jantung, meski sebelumnya tidak punya riwayat jantung, stroke, bahkan bisa buta mendadak atau tuli mendadak,” katanya.

Pada kasus kehamilan, seorang penderita APS dapat mengalami kegagalan kehamilan yang berulang –sebelum janin berusia 3 bulan atau telah melewati tri-semester pertama– yang pada awalnya hanya diprediksikan oleh dokter disebabkan penyakit kehamilan biasa seperti TORCH. Trombosis di tali pusat akan menghambat pengaturan zat gizi dan oksigen ke janin yang mengakibatkan pertumbuhan janin yang tidak sempurna bahkan bisa mati. 

“Bagi ibu, trombosis meningkatkan kejadian preklamsia (tekanan darah tinggi selama kehamilan) dan mengganggu sela telur yang telah dibuahi ke selaput lendir rahim sehingga terjadi keguguran,” katanya.

Fosfolipid merupakan molekul penting pada membran semua sel dan adanya antibodi terhadap fosfolipid bisa merusak fungsi sel, pembengkakan, dan penyumbatan pembuluh darah. Salah satu yang diserang adalah protein yang berfungsi melekatkan plasenta dengan dinding rahim yang disebut cytotrophoblast. 

Gangguan pada cytotrophoblast bisa menyebabkan keguguran. Selama kehamilan cytotrophoblast membentuk syncytiotrophoblast yang berfungsi menghantarkan nutrisi dari tubuh ibu ke janin. Jika antibodi antifosfolipid menghalangi pembentukan syncytiotrophoblast akan terjadi keguguran karena janin gagal mendapatkan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan. 

Kendati demikian, Prof Karmel menegaskan, APS tidak perlu ditakuti karena dapat diobati dengan cara mengurangi kadar kekentalan darah dengan menggunakan antikoagulan yaitu Nadroparin/Fraxiparine, dengan tingkat kesuksesan mencapai 95,5 persen. Selain juga aspirin yang diyakini dokter tidak akan mempengaruhi proses kehamilan ataupun janin, sehingga seorang wanita penderita APS dapat mempunyai keturunan normal. 

“Cara lainnya disarankan untuk banyak minum air, sering berenang atau berendam, berhenti merokok atau menghindari asap rokok serta mengobati tekanan darah dan kolesterol tinggi. Setelah melahirkan, seorang wanita yang mengidap APS disarankan tidak menggunakan pil kontrasepsi yang mengandung estrogen,” katanya.

Untuk mengetahui seseorang menderita APS, kata Prof Karmel, seseorang harus dites secara klinis di laboratorium melalui proses ACA (antibodi antikardiopilin) dan LA (antikoagulan lupus) yang mengharuskan seseorang diperiksa dua kali dalam jangka waktu enam minggu sebelum orang itu diputuskan menderita APS atau tidak. 

Sumber : Suara Karya

Kadar Tinggi ACA Bisa Memicu Kegagalan Kehamilan 

Jakarta, Kompas – Pada kurun waktu 1999-2001 di Jakarta telah dijumpai sejumlah perempuan dengan riwayat gagal kehamilan yang menunjukkan kadar tinggi antibodi antikardiolipin (ACA), salah satu jenis antibodi antifosfolipid. Adanya kadar ACA yang tinggi pada lebih dari dua kali pemeriksaan, ditambah dengan kejadian gagal kehamilan, menunjukkan diagnosis sindrom antifosfolipid (APS).

Demikian disampaikan oleh Tubagus Djumhana Atmakusuma saat mempertahankan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor dalam bidang ilmu kedokteran pada Universitas Indonesia di Jakarta, Rabu (30/3). Djumhana dinyatakan lulus dengan predikat cum laude.

Subyek penelitian Djumhana adalah penderita thalassemia. Thalassemia adalah kelainan darah merah di mana produksi rantai globin yang membentuk hemoglobin berkurang produksinya, atau tidak diproduksi sama sekali oleh karena adanya mutasi gen. Khusus pada thalassemia yang menjadi subyek penelitian adalah thalassemia beta dan HbE kombinasi yang banyak di Indonesia.

“Kalau HbE adalah hemoglobin E sama rantai betanya yang terganggu. Kalau thalassemia beta jumlahnya kurang atau tidak diproduksi. Tapi, hemoglobin E adalah varian, adanya perubahan asam amino yang satu ke bentuk asam amino yang lainnya sehingga tidak efektif,” kata Djumhana.

Akibatnya, karena jumlah produksinya menurun, rantai globinnya tidak diproduksi sama sekali sehingga darah merahnya menjadi turun dari yang biasanya normal-pada perempuan 12 dan laki-laki 13-bisa drop.

Frekuensi dari pembawa sifat untuk thalassemia beta 3,7 persen dari populasi Indonesia dan untuk hemoglobin E 2,7 persen. Kalau diproyeksikan tahun 2005 ini penduduk Indonesia berjumlah 250 juta, maka pembawa sifat ada 8 juta jiwa.
Pada pasien yang sudah menderita thalassemia, kemudian menderita ACA, maka kedua-duanya bisa berpotensi terjadinya trombosis. Thalassemia ini merupakan darah kental, ACA juga darah kental, kalau dua- duanya ketemu maka menjadi double.
Faktor pencetus yang bisa membuat darah makin kental adalah kehamilan. Akibatnya darah yang tadinya kental justru menjadi beku dan menyumbat sehingga bisa terjadi keguguran, bayi meninggal di dalam rahim, lahir prematur, dan keracunan saat hamil.
Faktor pencetus lainnya adalah minum obat-obat oral kontrasepsi, pembedahan seperti bedah tungkai, bedah tulang, atau bedah perut. Belum lagi jika kolesterolnya tinggi, hipertensi, atau gula darah tinggi.

Darah beku tersebut akan mengakibatkan stroke, telinga berdengung, penglihatan kabur, keguguran, vertigo, migren, napas sesak, sakit perut, dan kaki bengkak, ini tanda awal dari darah kental.

“Banyak orang belum menyadarinya. Jangan biarkan darah kental berubah menjadi darah beku,” kata Djumhana.

Kalau seseorang terpapar dengan faktor-faktor pajanan, seperti hamil, dioperasi, atau apa pun, harus diberi pencegahan agar darah kental tidak menjadi beku. Misalnya dengan obat suntikan atau dengan obat minum pengencer darah/antipembekuan darah. (LOK)

Antibodi Antikardiolipid Bisa Sebabkan “Stroke”

Gizi.net – Keguguran berulang tanpa sebab yang jelas bisa jadi karena antibodi antikardiolipid (ACA). Antibodi itu juga bisa menyebabkan stroke dan infark jantung pada usia muda.

Demikian diungkapkan pakar hemostatis dan trombosis Prof Dr dr Karmel L Tambunan SpPD KHOM dari Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dalam jumpa pers menjelang Kongres Nasional Perhimpunan Hematologi dan Tranfusi Darah Indonesia (PHTDI) IX, Selasa (4/9), di Jakarta.

Kongres itu, menurut Ketua PHTDI dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM, akan diselenggarakan tanggal 7-9 September 2001 di Semarang. Selain diikuti anggota PHTDI dari seluruh Indonesia, juga akan dihadiri para ahli dari Kanada, Australia, Selandia Baru, Inggeris, Belanda, Perancis, Thailand, dan Singapura.

Pembicara lain dalam jumpa pers adalah Prof Dr dr A Harryanto Reksodiputro SpPD KHOM, dr Djumhana Atmakusuma SpPD KHOM, dan Kepala Unit Tranfusi Darah Palang Merah Indonesia dr Auda Aziz.

“Antibodi antikardiolipid mendorong terjadinya trombosis atau pembekuan darah dalam pembuluh darah. Jika terjadi di plasenta, bekuan darah akan mengganggu pasokan zat gizi dan oksigen bagi janin sehingga terjadi keguguran pada usia kehamilan tiga atau empat bulan. Jika tidak keguguran, biasanya janin tidak berkembang atau meninggal dalam kandungan,” urai Tambunan.

Dalam tiga tahun belakangan ini, lebih dari 240 pasien yang mengalami keguguran berulang, ada yang empat kali keguguran, dirujuk. Setelah diobati, 95 persen membaik dan bisa mempunyai anak.

“Stroke” dan “infark” jantung
Sindrom antifosfolipid yang diakibatkan ACA ini jika terjadi di vena akan menyebabkan emboli pada paru, di arteri jantung menyebabkan infark jantung, di otak menyebabkan stroke, di pembuluh darah mata meyebabkan buta, dan di pembuluh telinga menyebabkan tuli.

Kasus yang ditemui Tambunan antara lain, pemuda berusia 18 tahun mengalami infark jantung dan wanita berusia 22 tahun mengalami stroke. “Jadi infark jantung dan stroke bukan lagi monopoli orang lanjut usia,” kata Tambunan.

Selain itu, bentuk sindrom antifosfolipid adalah migrain yang tak kunjung sembuh. Setelah diobati dengan antikoagulan atau antipembekuan darah, tenyata migrain sembuh.

Penyebab sindrom ini ada dua, primer –yaitu genetik—serta sekunder akibat infeksi virus termasuk toksoplasmosis, infeksi bakteri, atau disebabkan obat-obatan. Jika penyebabnya faktor genetik, obat harus diminum seumur hidup.

Selama ini faktor risiko trombosis yang umum diketahui adalah kadar kolesterol tinggi, diabetes, asap rokok, homosisteinemia, serta tingginya faktor pembekuan darah dalam tubuh.

Faktor-faktor itu merangsang proses pembekuan darah berlebihan jika terjadi perlukaan pada dinding pembuluh darah. Trombos atau gumpalan darah yang menempel di dinding pembuluh darah bisa terlepas dan menyumbat pembuluh darah. Jika tak segera diobati, bisa menyebabkan kematian.

“Perokok, termasuk perokok pasif, berisiko lima sampai sepuluh kali mengalami trombosis dibanding bukan perokok. Oleh karena itu, di negara maju merokok dilarang di tempat umum,” ujar Tambunan.

Sumber : Kompas, Rabu, 5 September 2001

Atau forum yang membahas mengenai ACA APS bisa dibaca disini.

second opinion mengenai Proteinuri


Saya sempet FB message dengan sesama blogger yang juga merupakan obsgyn. Ya cuma mau minta 2nd opinion aja sih.

Berikut cuplikannya :

Assalamualaikum bu dokter,

Apakabar? Kalau berkenan, aku mau tanya2/konsul tentang protein dalam urin dan sindrom antipospolipid sebagai 2nd opinion, boleh bu? Makasih sebelumnya. Wassalam.

Lha?? Situ hamil lagi, Rat?

Hihi aku emang lg hamil 26minggu bu . Udah berkali2 test urin proteinnya positip mulu, pdhal udah minum askardia. Pusing eike jdnya. Ini hamil nyang kedua setelah taun lalu lahiran prematur 21mgg.

Semua ibu hamil pasti proteinurinnya positif. Selama tensimu ngga lewat dari 130/90, kenapa kau harus cemas?

Tensiku 100/70 ga lebih pernah sampe 130/90. Ow pasti positip ya? Aku takutnya pre eklamsia karena menurut bnyk pengalaman di forum bumil, mengarah ke pre eklamsia. Kmrn aku jg ud cek ACA, positip IgM, si internist bilang aku punya APS, jd dikasi askardia 80. Kukira dgn askardia itu protein di urin bs hilang. Kmrn2 protein +2, trus +1, trus terakhir +3. Ga ada yg perlu dikuatirkan kah?

ACA mungkin akan menyulitkan kehamilan, tapi tidak otomatis menimbulkan preeklamsia. Sebaiknya Ascardia tetap diminum supaya ACA-nya tidak semakin parah dan membahayakan kehamilan.
 Ascardia tidak akan mengurangi proteinuri. Proteinuri adalah konsekuensi dari kehamilan. Jadi kalau mau proteinurinya negatif, maka janinnya harus dikeluarkan dulu.

Ow begitu toh. Kukira tadinya, karena ada proteinuri maka perlu diinvestigasi lebih lanjut ke tes ACA. Kemungkinan proteinuri itu indikasi APS yg mengakibatkan terbukanya serviks sebelum waktunya.

Ndak perlu bingung soal proteinuri. Itu cuma hasil pemeriksaan lab di kertas. Jika secara pandangan mata, pegangan tangan, kami menilai kau baik-baik saja, kami tidak akan menganggap kesehatanmu buruk meskipun kau mau cek proteinuri berkali-kali.
Kami cukup perhatian pada tensimu. Selama tensimu tidak melebihi 130/90, sebaiknya kau jalani hidupmu dengan tenang.

Ow beklah bu dokter. Tengkiu banyak ya infonya

kontrol 26 minggu – internist


selasa 10 desember 2013

Hari ini jadwal ketemuan konsul sama internist. Jadwal prakteknya jam 15-17. Tapi udah beberapa kali saya ketemu sama internist ini, beliau baru dateng sekitar jam 16.30 jadi saya santai2 aja jalan dari rumah.

Suami saya ijin pulang dari kantor jam 14, dan sampe rumah bengong ngeliat saya masih dengan kostum rumahan belom siap2.

Kita berangkat dari rumah jam 4 kurang. Sampe sana di timbang dan tensi. 78,5kg (udah naik 0.5 kg aja baru 3 hari) dan 120/80.

Ngabsen kue lumpur favorit suami saya di kafetarianya sembari nunggu. Gak lama internistnya dateng jam 16.30 an. Bener kan tebakan saya.

Kita kemukakan alasan kita dateng lagi ke internist karena obsgyn saya ingin tahu masalah proteinuri +3 hasil test urin kemarin. Sebenernya agak2 absurd dan bingung arah pembicaraannya kemana, atau sayanya yang oneng ya.

Karena tujuan kita adalah ingin tau indikasi gejala protenuri +3 itu mengarah kemana, itu aja.

Si internist sempet nanya2 mengenai apakah saya ngeflek selama kehamilan ini? engga.

Minggu keberapa? 26.

Tensi tinggi? Engga, standard.

Kayanya sih dia mencurigai ke arah pre eklamsi dan eklamsi. Sempet kita diskusi ketika saya menanyakan bukannya  proteinuri itu salah satu konsekuensi kehamilan? Saya lupa apa jawabnya.

Seinget saya, dia jawab kalau proteinuri terdeteksi pada orang yang tidak hamil, kemungkinan ada gangguan ginjal. Berarti kalo pada bumil seharusnya wajar toh? batin saya.

Selama tensi normal dan tidak ada pendarahan, seharusnya sih proteinuri ini bisa diabaikan atau tidak perlu dikhawatirkan. Tambah si internist.

Harusnya, tapi obsgyn saya khawatir dengan kondisi ini. Gimana dong? batin saya.

Tapi mengingat saya dirujuk ke internist karena proteinuri, agaknya si internist mungkin berpikir treatment apa ya untuk memperkecil saringan di ginjal sehingga si protein tidak lolos ke urin. Sampai akhirnya beliau meresepkan Captopril 6.25mg dengan catatan harus ada approval obsgyn saya karena bisa mengganggu organogenesis si janin. Si internist agak kurang tau juga mengenai proses tumbuh kembang janin di minggu ke 26 saya ini, apakah organogenesis (pembentukan organ) masih terjadi atau hanya tinggal perkembangan si organ.

Sebelum selesai konsul dengan internist, beliau sempet ngasih wacana bahwa kemungkinan delivery si baby lebih baik dengan c-section (caesar), tapi itu balik lagi ke obsgyn saya gimana perkembangannya. Tapi ya siap2 aja dengan kemungkinan jika emang harus c-section.

Berhubung waktu konsul saya masih 4minggu lagi, dan si obsgyn baru ada praktek ntar malem jam 7malam, si suster pendamping internist dikasi tugas untuk mengkonfirmasikan ke obsgyn saya mengenai obat ini dan kertas resep masih dipegang si suster.  Akhirnya nunggu lagi si suster mengkonfirmasi si obsgyn, yang ternyata HPnya ga aktip karena lagi tindakan.

Sementara menunggu, saya coba browsing mengenai captopril terhadap kehamilan ini tapi gagal2 mulu lantaran jaringan provider angka yang jelek banget saat ini. Akhirnya, saya dan suami cuma bisa ngedumel dan berdiskusi dengan hasil diskusi berat ke keputusan kita ga akan menebus obat tersebut dengan pertimbangan obgsyn aja kemaren targetnya nunggu si janin sampe 2kg yang artinya kemungkinan prematur sangat besar. Apa jadinya kalau selama proses menuju 2kg tersebut dipengaruhi oleh obat yang ternyata ga direkomendasikan untuk ibu hamil?! Bisa sia2 semua perjuangan kita selama ini. Yang belakangan saya tahu obat tersebut untuk hipertensi (loh kan tensi saya normal yo?)

Saya sih sudah bertekad bulat, ga akan nebus obat itu, mangkanya saya minta suami saya ambil resep itu aja untuk kita simpen aja dan ga ditebus. Tapi ternyata si suster ga ngasih resep tersebut, karena takut juga kalo2 kemungkinannya kita inisiatip untuk nebus dan mengkonsumsi obat tersebut sebelum ada approval dari obsgyn saya. Ya ga salah juga sih si suster.

Tadinya saya berinisiatip mau nunggu obsgyn saya aja praktek malem tersebut untuk berdiskusi panjang lebar, tapi suami saya keberatan, kelamaan nunggunya.

Akhirnya nyaris maghrib, obsgyn saya baru bisa dihubungi pihak RS dan tidak approve untuk mengkonsumsi obat itu. Alhamdulillah. Akhirnya suami saya menyelesaikan administrasi dan kita pulang ke rumah.

Sampe di rumah, saya langsung istirahat sementara suami saya kerokan sama si mama dan HPnya ditinggal di ruang tamu, ga denger ada banyak telepon dari RS.

Si pihak RS nelpon lagi berkali2 sampe akhirnya diangkat sama suami saya selesai kerokan. Ternyata mereka mau ngasih tau kalo obsgyn saya merujuk saya ke hematolog dr. Djumhana di RS Mitra Premier Jatinegara yang prakteknya selasa dan kamis mulai jam 9malam. Mualem buanget yak.

Kata pihak RS ke kita, ga usah susah2 nyari dokter lain kaya di RSCM atau yang lainnya, karena udah mereka cariin. Oyayaya. Makasih.

Tapi kalo dipikir2 mah, kalo ternyata harus test ini itu berkaitan dengan ACA dan APS, kayanya lebih ekonomis di RSCM deh, secaraaa kita pribadi bukan asuransi gitu loh.

Ngomong2 hematolog, saya jadi inget beberapa waktu lalu browsing mengenai hematolog dan yang berkaitan dengan kehamilan adalah dr. Karmel di PGI Cikini. Beliau mengkhususkan diri di kasus ACA-APS dan efeknya dengan kehamilan. Kenapa ga dirujuk aja ke beliau?

Kayanya sih, obsgyn saya mau ngecek mengenai perkembangan test ACA bagi kehamilan saya.

Hm… nak, mama dan papa sedang berusaha, kamu yang sabar ya di dalem. Jadi anak yang baik dan pinter ya. Amin.

Biaya konsul internist 118k saja. Mau coba di reimburse 😀